Salam Pro Petani

Selamat datang di blog "ekonomika-pertanian". Sebuah blog yang mencoba berbagi dan mempelajari dinamika ekonomika pertanian, kemudian berupaya berpikir dan bertindak dalam kerangka kepedulian yang intens pada petani. Selamat membaca dan salam pro-petani.

Disasosiasi Produksi, Stok, dan Harga [BUSTANUL ARIFIN]

Kompas | Senin, 29 November 2010 | 02:31 WIB
Analisis Ekonomi
Disasosiasi Produksi, Stok, dan Harga
Oleh BUSTANUL ARIFIN

Siklus rutin melonjaknya harga beras pada akhir dan awal tahun telah lama diketahui para perumus kebijakan dan masyarakat awam. Puncak kenaikan harga beras itu umumnya terjadi Desember-Januari, sebagai konsekuensi logis dari volume pasokan (suplai) yang berkurang.

Tidak jarang pada masa tanam seperti saat ini, petani mengalami paceklik dan masyarakat perkotaan menanggung kenaikan harga kebutuhan pokok. Siklus rutin ini seharusnya tidak boleh menimbulkan dampak ikutan yang lebih buruk. Logika awam, pemerintah telah memiliki sekian macam peredam fluktuasi harga dan kebijakan yang memadai.

Namun, dua tahun berturut-turut, tiga komponen penting ekonomi beras, yaitu produksi, stok, dan harga beras, menderita disasosiasi atau keterputusan yang kian lebar.

Pertama, Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal November memublikasikan angka ramalan ketiga (aram 3), produksi sekitar 66 juta ton gabah kering giling (GKG) atau ekuivalen 37,6 juta ton beras dengan angka konversi 0,57. Pemerintah masih menggunakan angka konversi 0,63 dari gabah ke beras sehingga produksi beras ekuivalen 41,4 juta ton.

Secara statistik, produksi beras menurut dua versi angka konversi itu seharusnya lebih dari cukup untuk memenuhi konsumsi nasional, yakni 34 juta ton. Angka produksi itu 2,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan produksi 2009, terutama karena peningkatan luas panen 1,8 persen dan produktivitas 0,62 persen. Masyarakat sering menganggap data ”luas panen” sebagai data ”luas tanam”.

Di lapangan, dapat disaksikan terjadi alih fungsi lahan pertanian untuk kegunaan lain yang sangat cepat. Data ”luas tanam” adalah areal baku sawah yang tidak lebih dari 8 juta hektar. Sementara data ”luas panen”, 13,1 juta hektar, hanya angka di atas kertas setelah mempertimbangkan curah hujan, tingkat intensifikasi budidaya, penggunaan pupuk, pestisida, dan lain-lain, yang dikenal dengan istilah indeks pertanaman (IP).

Kedua, pada Oktober 2010 stok beras yang dikelola Bulog 1,2 juta ton, lebih rendah dari angka aman 1,5 juta dan jauh dari angka ideal 2 juta ton. Bulog konon kesulitan melakukan pengadaan pada musim panen raya lalu karena harga pasar sangat tinggi, melampaui Rp 7.500 per kilogram, padahal harga pembelian pemerintah Rp 5.300.

Pengalaman tahun lalu, ketika keluarga miskin harus membeli beras di pasar dengan harga komersial, plus stok beras yang agak kritis, mendorong harga keseimbangan beras ke atas.

Volume stok beras ditentukan beberapa faktor penting, seperti angka produksi beras dalam negeri, kinerja pengadaan Bulog, laju dan perkiraan volume impor, kepiawaian pedagang dan spekulan beras memantau dan memanfaatkan informasi stok, kemampuan menahan dan merencanakan untuk sekian bulan ke depan.

Saat volume perdagangan beras menipis tahun 2008 dan 2009 kinerja stok beras dalam negeri stabil karena Bulog mampu memanfaatkan kekuatan jaringan perdagangan, merangkul pedagang swasta, serta dukungan kinerja produksi beras domestik yang tumbuh di atas 5 persen. Tingkat keterkaitan produksi dan stok beras cukup tinggi, bahkan kinerja stok merupakan fungsi dari produksi beras.

Tahun ini keduanya terlepas agak jauh. Data produksi yang di atas kertas, seakan surplus 5 juta ton, ternyata di lapangan tidak ditemukan beras dengan jumlah memadai.

Ketiga, harga eceran beras di dalam negeri kian terlepas dari angka stok yang dikuasai Bulog, pedagang, dan masyarakat. Ekspektasi tingginya konsumsi beras Juli-September belum mampu diredam oleh mekanisme pasar dan intervensi kebijakan pemerintah.

Program operasi pasar yang dilaksanakan Bulog Divre Jawa Barat, misalnya, tidak mampu meredam kenaikan harga beras, yang bertahan Rp 7.500 per kilogram kelas medium. Operasi pasar itu sepi pembeli karena kualitas beras yang diperdagangkan rendah (Kompas, 27 November 2010), yang tentu tidak efektif untuk menurunkan harga eceran beras di dalam negeri.

Keterputusan hubungan produksi, stok, dan harga beras kian nyata ketika terpetik kabar, Bulog akan menambah impor beras, selain dari keputusan impor 600.000 ton yang datang bertahap sampai akhir 2010.

Dari penjelasan itu, wajar jika masyarakat bertanya-tanya tentang akurasi penghitungan produksi beras. Benar, lebih dari 65 persen produksi beras di Indonesia dihasilkan pada panen raya musim rendeng Maret-April serta sisanya pada musim gadu September-Oktober dan lainnya. Dengan siklus seperti itu, tidak ada alasan untuk tidak memperbaiki manajemen produksi dan stok beras.

Langkah pertama untuk kembali meningkatkan keterkaitan produksi, stok, dan harga beras adalah perbaiki estimasi produksi beras. Akademisi serta jajaran birokrasi di pusat dan daerah wajib menetapkan standar estimasi produksi yang lebih akurat.

Kedua, perbaiki mekanisme dan proses pengadaan beras dalam negeri, dengan memberikan keleluasaan bagi Bulog dan pemerintah daerah untuk melakukan pengelolaan stok atau cadangan beras.

Ketiga, pembahasan perubahan kebijakan perberasan, yang dituangkan dalam inpres, wajib dipercepat. Inpres perberasan baru nanti kemungkinan lebih terfokus pada stabilisasi harga, akomodasi perbedaan kualitas beras, dan panduan pelaksanaan subsidi beras untuk keluarga miskin.

Keempat, anggota parlemen perlu berperan mempercepat pembahasan dan memperjelas alokasi subsidi pangan yang telah direncanakan Rp 15,3 triliun pada RAPBN 2011. Kejelasan anggaran subsidi pangan, khususnya raskin, plus rumah tangga sasarannya, diharapkan mengurangi keterlambatan distribusi beras bagi keluarga miskin. Bulog dan pemerintah daerah wajib memperlancar proses distribusi raskin, agar kenaikan harga beras dapat diredam, terutama pada puncak paceklik Januari nanti.***

Bustanul Arifin Guru Besar Unila, Professorial Fellow di Intercafe MB-IPB
Available at http://cetak.kompas.com/read/2010/11/29/02314357/disasosiasi.produksi.stok.dan.harga

No comments:

Post a Comment