Salam Pro Petani

Selamat datang di blog "ekonomika-pertanian". Sebuah blog yang mencoba berbagi dan mempelajari dinamika ekonomika pertanian, kemudian berupaya berpikir dan bertindak dalam kerangka kepedulian yang intens pada petani. Selamat membaca dan salam pro-petani.

Logika Impor Beras [TOTO SUBANDRIYO]

Suara Merdeka | Rabu, 19 Januari 2011
Logika Impor Beras
Oleh Toto Subandriyo

PANTAS saja kalau kalangan eksekutif, legislatif, dan organisasi petani seperti HKTI di Provinsi Jawa Tengah terperangah saat mendengar kabar bahwa beras impor dari Vietnam mulai memasuki provinsi penyumbang beras terbesar ketiga nasional ini (SM, 13/01/11).  Pasalnya, di bawah kepemimpinan Gubernur Bibit Waluyo, dan dukungan musim hujan yang berlangsung hampir sepanjang tahun 2010, telah membawa berkah peningkatan produksi beras di provinsi ini sehingga hitung-hitungannya surplus sekitar 2,9 juta ton.

Lantas, bagaimana logikanya beras impor dari Vietnam dapat merembes masuk ke provinsi ini, padahal di beberapa kabupaten/kota sentra produksi sudah mulai memasuki musim panen padi musim rendeng? Jika harga eceran beras yang saat ini masih cukup tinggi menjadi justifikasi, tentu hal itu kurang tepat.  Menurut hemat penulis, kenaikan harga beras beberapa bulan terakhir ini merupakan siklus normal tahunan yang terjadi pada bulan-bulan paceklik.

Seharusnya yang perlu dilakukan oleh Bulog selaku penerima mandat public service obligation (PSO) dari pemerintah adalah dengan mengintensifkan berbagai instrumen stabilisasi harga. Termasuk di antaranya lebih mengedepankan penyaluran beras bersubsidi (raskin) sesuai dengan proporsi panen.  Artinya, volume penyaluran raskin disesuaikan dengan jadwal waktu panen padi.  Saat musim paceklik volume penyaluran raskin dapat  dilipatgandakan, sedangkan pada musim panen raya tidak perlu penyaluran.

Dibanding operasi pasar (OP), penyaluran raskin yang tepat jumlah dan waktu, akan lebih efektif menstabilkan harga beras.  Hal ini mengingat berbagai pertimbangan, yaitu  raskin dapat menjangkau seluruh wilayah, volume beras yang disalurkan sangat banyak, harganya sangat murah hanya Rp 1.600/kg.  Sedangkan OP jangkauannya sangat terbatas, volumenya kecil, dan harga per kilogramnya tak berbeda jauh dari  harga pasar.

Menata Distribusi

Selain musim paceklik yang tengah berlangsung, faktor pemicu lain terjadinya gonjang-ganjing harga beras adalah tidak terpenuhinya target pengadaan beras pemerintah yang diamanatkan kepada Perum Bulog.  Hingga awal November 2010 baru terserap 1,9 juta ton dari prognosa pengadaan 3,2 juta ton, atau baru 59 persen dari target.  Salah satu alasan klasik yang selalu disampaikan adalah karena kualitas gabah yang dihasilkan petani jelek.

Padahal Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/Permentan/PP.310/1/2010 tentang Pedoman Harga Pembelian Gabah di Luar Kualitas oleh Pemerintah, telah memberi keleluasaan pemerintah untuk membeli gabah petani dalam segala kualitas. Gabah kering panen (GKP) yang memenuhi persyaratan kualitas Inpres Nomor 7 Tahun 2009. 

Setidaknya ada empat hal yang perlu dilakukan dalam membenahi manajemen perberasan nasional.  Pertama; pembenahan data produksi dan konsumsi beras domestik.  Data produksi dan konsumsi beras yang akurat sesuai dengan kondisi riil di lapangan menjadi faktor penentu keberhasilan manajemen pangan pada umumnya.  Dalam sebuah perencanaan kita kenal terminologi GIGO yang merupakan akronim dari  garbage in garbage out atau gold in gold out.

Kedua; upaya peningkatan produksi dan produktivitas beras.  Menurut seorang pakar ekonomi pertanian, Peter Timmer, harga beras yang tinggi menjadi insentif bagi petani untuk menanam padi.  Akan tetapi, tingginya harga beras akan menjadi ‘’gula-gula’’ yang menyesatkan jika petani dibiarkan terjebak dalam produktivitas yang rendah.  Untuk itu berbagai input teknologi dan inovasi baru perlu diupayakan untuk mendongkrak produksi dan produktivitas tersebut.

Ketiga, penguatan stok dan penataan distribusi. Persoalan paling mendasar dalam manajemen stok pemerintah adalah tidak adanya kejelasan penanggung jawab pengadaan beras dan bagaimana pengadaan dilakukan.  Inpres Nomor 7 Tahun 2009 tentang Kebijakan Perberasan lebih menekankan pada mekanisme pembelian pemerintah.  Saatnya penguatan stok dan penataan distribusi dilakukan bersama antara pemerintah pusat dan daerah sesuai kondisi masing-masing daerah.

Keempat; upaya diversifikasi pangan nonberas.  Selama ini politik pangan pemerintah telah menempatkan beras sebagai satu-satunya makanan pokok masyarakat. Ukuran ketahanan pangan selalu dilihat dari jumlah produksi padi dan stok beras yang dikuasai pemerintah.  Kebijakan ini telah membawa dampak tercerabutnya kearifan pangan lokal. (10)

Toto Subandriyo, anggota Badan  Pertimbangan Organisasi  HKTI dan Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Tegal 
Available at http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/01/19/134831/10/Logika-Impor-Beras

No comments:

Post a Comment