Salam Pro Petani

Selamat datang di blog "ekonomika-pertanian". Sebuah blog yang mencoba berbagi dan mempelajari dinamika ekonomika pertanian, kemudian berupaya berpikir dan bertindak dalam kerangka kepedulian yang intens pada petani. Selamat membaca dan salam pro-petani.

Kemandirian dan Impor Pangan [MAKSUM MACHFOEDZ]

 Kedaulatan Rakyat | Sabtu, 19 Februari 2011 12:12:53 
Kemandirian dan Impor Pangan 
Oleh Prof. Dr. Maksum Machfoedz 

SEJAK 35 tahun lalu, Tomek dan Robinson mengingatkan bahwa kebijakan pangan atau Government Food Policy (GFP) berpotensi sarat kebohongan publik. GFP memang alat terpenting membangun politik citra dan kebijakan paling populis dengan bungkusan jargon: kesejahteraan rakyat, demi rakyat tani miskin, melawan kelaparan dan sebagainya. Padahal sebetulnya, implikasi kesejahteraannya sering tidak memadai dan acapkali tidak sebanding dengan citra politiknya. Alasan laten inilah yang menyebabkan senantiasa konstroversialnya GFP, apapun bentuknya, termasuk GFP RI. 

Program swasembada lima komoditas pangan meliputi beras, gula, kedelai, jagung dan daging sapi pada tahun 2014 diamanatkan Presiden SBY dalam seminar Feed the World, 28 Januari 2010 dan disambut pencanangannya oleh Deptan Februari 2010. Akan tetapi, segala kebijakan KIB nyaris tidak sejalan dengan urusan swasembada ini. Hiruk-pikuk perberasan sepanjang 2010, kisruh kedelai, krisis gula rafinasi dan perjagungan nasional, importasi daging dan sapi. Bahkan segala importasi ilegalnya, ditambah krisis cabai, adalah pengganjal amanat SBY. 

Karut-marut pangan RI 2010 adalah buah kontroversi ini. Segera setelah klaim politis swasembada beras menyongsong Pemilu 2009 yang diikuti sukses pelantikan KIB-II, krisis pangan nasional dimulai dengan tanda awal tidak terbelinya gabah petani: Januari-Maret 2010. 

Alasannya sangat klasik: kualitas panen yang jelek. Akibatnya, sampai Juni 2010 pengadaan pemerintah hanya mencapai 40% dari target 2010 sebesar 3,2 juta ton. Kegagalan inilah biang menari-narinya harga beras sampai akhir 2010 dengan kontribusi inflasi hampir 20% dari inflasi RI 2010 sebesar 6.96%. Importasi dan penghapusan bea masuk (BM) merupakan jalan pintas yang bertolak belakang dengan swasembada. Dinamika empat komoditas lainnya nyaris sama. 

Semuanya diselesaikan dengan jalan pintas: importasi besar-besaran. Alasannya teramat sederhana: demi stabilitas harga pangan. Sekali lagi, prinsip stabilitas yang dibangun adalah stabilitas berbasis importasi, stabilitas yang membangun ketergantungan terhadap luar negeri. Berbasis pemahaman mekanisme yang sederhana, bisa sekaligus memaknai bahwa stabilitas pangan nasional kini sedang dibangun dengan menggerogoti kemandirian, keswasembadaan dan kedaulatan pangan bangsa kita. 

Tiga terminologi politis ini dalam bidang pangan semakin menarik ketika dalam amanatnya di depan Rapat Kerja Pemerintah Nasional, 10 Januari 2011, Presiden menekankan bahwa tidak ada alasan bagi Bangsa Indonesia untuk tidak berkemandirian pangan. Penekanan tema kemandirian ini disambut sangat positif oleh masyarakat banyak. Sayangnya, tidak demikian halnya dengan KIB-II yang nampak tidak tanggap dengan arah amanat SBY ini. 

Para pejabat di KIB-II ternyata justru melakukan pilihan kebijakan kontraproduktif. Dengan alasan stabilisasi harga, importasi kembali dibesar-besarkan. Pokoknya importasi harus dilakukan untuk menggelontor pasar agar supaya harga stabil dan murah. Begitu kira-kira paduan suara politik yang terbangun dalam jajaran KIB-II setelah sekian lama semakin gagap dan gamang menyaksikan kenaikan harga pangan yang tidak kunjung terkendali. 

Kulminasi formalnya, hanya berselang persis dua minggu dari amanat Kemandirian Pangan SBY, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK 011/2011 yang di antaranya mengamanatkan bebas BM importasi 57 komoditas pangan ditandatangani, 24 Januari 2011. Jelas sekali bahwa PMK 13/2011 ini sangat kontraproduktif terhadap upaya membangun kemandirian pangan yang dicita-citakan Presiden SBY. Pertanyaannya: kok bisa ya? Presiden memerintahkan ke utara untuk membangun kemandirian pangan, tetapi PMK 13/2011 justru berjalan ke selatan, menciptakan ketergantungan serta sekaligus merusak dan menodai kemandirian pangan. 

Jikalau hal ini tidak boleh diartikan sebagai kebohongan publik, bukankah dua hal utara-selatan ini bisa dimaknai dengan bahasa keistimewaan DIY sebagai ‘ngalor-ngidul’ atau ‘esuk tempe sore dhele’?. Sementara itu, kezaliman lapangan mulai menggejala. Harga gabah di banyak kawasan yang mulai terjun bebas tidak juga tertolong secara sigap oleh pemerintah meski sudah di bawah HPP menurut Inpres 7/2009. Dengan alasan stabilisasi pula, atau tepatnya untuk memurah-murahkan harga beras, Inpres 7/2009 tentang perberasan yang sudah kedaluwarsa dan tidak fleksibel inipun batal direvisi, meskipun revisinya sudah disiapkan. 

Sesungguhnya, sederhana sekali solusi karut marut pangan ini. Dia sekadar membutuhkan konsistensi kebijakan. Kalau Presiden mencanangkan kiblat, keseluruhan jajaran KIB-II semestinya mengarah ke kiblat yang sama. Bukan kebijakan yang ngalor-ngidul ataupun esuk tempe sore dhele.***

Maksum Machfoedz adalah Guru Besar TIP FTP UGM, Ketua PBNU

No comments:

Post a Comment