Salam Pro Petani

Selamat datang di blog "ekonomika-pertanian". Sebuah blog yang mencoba berbagi dan mempelajari dinamika ekonomika pertanian, kemudian berupaya berpikir dan bertindak dalam kerangka kepedulian yang intens pada petani. Selamat membaca dan salam pro-petani.

Petani Perlu Perlindungan [W RIAWAN TJANDRA]

Kedaulatan Rakyat | Selasa, 22 Februari 2011 16:51:44
Petani Perlu Perlindungan
OlehW Riawan Tjandra

Negeri ini konon adalah negerinya kaum tani, karena sejak lama diwartakan sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi. Namun, pada kenyataannya kondisi pertanian Indonesia tetap terpuruk. Keterpurukan sektor pertanian di Indonesia dapat dikatakan dimulai ketika pemerintah Orde Baru mempraktikkan program pertanian yang berorientasi pada ideologi revolusi hijau tahun 1970-an hingga 1980-an.

Pada masa tersebut, petani dipaksa bekerja dengan program pertanian modern yang penuh dengan tambahan kimiawi yang merendahkan kualitas kesuburan tanah untuk jangka panjang. Para petani dipaksa bertanam dengan menggunakan sarana produksi pupuk, obat hama, benih dan sejenisnya yang dipasarkan oleh beberapa perusahaan MNC/TNC yang mendapatkan lisensi pemerintah.

Penggunaan saprodi produk perusahaan MNC/TNC tersebut harus dibeli para petani dengan harga mahal dari tahun ke tahun. Akibatnya, biaya produksi pertanian selalu melambung dan tidak terjangkau oleh petani domestik. Namun, ironisnya harga jual produk pertanian terutama beras dikontrol dan dibuat murah oleh pemerintah

Berbagai kebijakan ekonomi dan industri pemerintah juga tidak banyak berpihak kepada petani. Kebijakan ekonomi Indonesia seperti  kebijakan pemerintah membebaskan bea masuk untuk 57 komoditas pangan di antaranya, beras, gandum, terigu, gula dan pakan ternak dinilai juga merugikan petani. Kebijakan itu diyakini bisa menjatuhkan harga komoditas dalam negeri saat panen raya akibat bersaing dengan produk asing.

Pemerintah melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan memperpanjang pembebasan Bea Masuk Impor Komoditas Pangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 13/PMK.011/2011. Kebijakan  semacam ini sama dengan  pemerintah telah mensubsidi petani di luar negeri dan merugikan petani lokal. Negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang serta Prancis pun petaninya diproteksi oleh pemerintah. Seharusnya, pemerintah Indonesia lebih berpihak kepada petani dalam negeri; bukan justru mengabaikan kebijakan proteksi seperti yang dilakukan di beberapa negara tersebut.

Kebijakan industri yang tidak berpihak terhadap para petani terlihat misalnya dalam hal konversi lahan yang berlebihan yang berdampak lahan pertanian di Pulau Jawa cenderung mengalami penyusutan yang cukup pesat dan hal ini tidak sebanding dengan tingkat pertumbuhan penduduk Pulau Jawa yang amat cepat.  Salah satu contoh kasus percepatan konversi lahan pertanian ke fungsi lain bisa dilihat di lumbung padi Karawang, Jawa Barat. Dari tahun 1999 hingga sekarang, di daerah itu telah dibangun jalan lingkar dengan panjang 14 kilometer dan lebar 40 meter.

Hukum yang seharusnya menjadi instrumen kebijakan untuk melindungi petani ternyata justru menjadi sarana untuk menindas petani dan melakukan eskploitasi terhadap lahan pertanian dengan berbagai justifikasi. Berdasarkan risetnya, Geertz pernah menyimpulkan bahwa tampaknya tidak mungkin untuk memperbaiki pertanian Indonesia secara signifikan tanpa melakukan perubahan struktur sosial secara besar-besaran.

Survei Petani Center NGO’s pada tahun 2007 pernah menyatakan bahwa tingkat pendapatan petani Indonesia yang memiliki luas sawah 0,5 hektare kalah dibandingkan upah bulanan buruh industri di kota besar. Para petani yang memiliki tanah/sawah 0,5 hektare untuk sekali musim tanam memerlukan biaya produksi sebanyak Rp 2,5 juta, termasuk biaya sarana produksi, upah pekerja, pemeliharaan dan lain-lain. Sementara, hasil produksi beras/padi sawah seluas 0,5 hektare yang dijual, setelah sebagian dijadikan stok logistik rumah tangga, hanya menghasilkan Rp  3,5 juta hingga Rp  4 juta. Jadi, keuntungan bersih hanya Rp  1 juta sampai dengan Rp 2 juta, yang jika dibagi tiga bulan maka rata-ratanya hanya mendapat Rp  700.000 per bulan.

Jika kebijakan ekonomi dan kebijakan industri yang menggunakan instrumen regulasi tidak berpihak kepada petani, betapa makin terpuruknya nasib petani di negeri yang konon dikenal sebagai negeri agraris ini.

Hadirnya UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Peetanian Pangan Berkelanjutan yang dalam salah satu ketentuannya mengancam dengan sanksi pidana sampai maksimal 5 (lima) tahun dan denda sampai satu miliar bagi orang perseorangan yang melakukan alih fungsi lahan pertanian sekilas terlihat memproteksi (lahan) pertanian, tetapi sesungguhnya tidak akan berperan banyak dalam melindungi para petani jika tidak diikuti dengan kebijakan negara yang berpihak kepada nasib kaum tani.

Bahkan, jika nasib kaum tani terus kian terpuruk akibat mahalnya pupuk dan biaya pengolahan lahan yang berakibat pada penjualan lahan pertanian oleh para petani tersebut, justru berbagai ancaman sanksi dalam UU No 41 Tahun 2009 justru berbalik akan menghukum petani yang terpaksa harus menjual/mengalihfungsikan lahan pertanian akibat tuntutan kehidupan yang kian menyulitkan para petani.

Alhasil, UU tersebut secara substantif belum membuktikan keberpihakan negara terhadap para petani. Nasib petani kian tenggelam di tengah hingar-bingar politik tanah air saat ini dan negeri agraris ini tetap menjadi negeri pengimpor beras akibat salah urus kebijakan pertaniannya. Diperlukan perlindungan dan keberpihakan negara terhadap para petani melalui kebijakan yang sungguh-sungguh menguatkan sektor pertanian melalui subsidi pupuk, alat-alat pertanian, benih berkualitas dan murah, serta akses keadilan bagi petani dan penguatan sektor pertanian dalam era industrialisasi saat ini.***

Dr W Riawan Tjandra SH MHum adalah Direktur Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Associate Researcher  IRE-Yogyakarta.

Available at http://222.124.164.132/web/detail.php?sid=236130&actmenu=39

No comments:

Post a Comment